Kejujuran yang Pahit

Masih teringat jelas saat kau menenangkan diriku saat gundah. Kau selalu ada untukku, selalu membuatku tersenyum ketika aku sedih. Selalu menjagaku, selalu melindungiku saat aku butuh. Masih teringat jelas saat kita berdua tertawa bersama, tapi apa mungkin kita berdua bisa seperti dulu lagi? Entah aku tak tahu sejak kapan aku memiliki perasaan ini. Perasaan aneh terhadapmu. Perasaan layaknya seorang wanita pada seorang pria. Itulah yang aku rasakan. Sejak kecil kita selalu bersama, aku tahu mungkin kau lebih pantas menjadi seorang kakak bagiku. Lima tahun adalah perbedaan umur kita berdua. Tapi itu bukan masalah bagiku. Dulu saat aku kecil, aku ingin sekali menjadi istrimu kelak. Mungkin itu impian terkonyol dari seorang anak kecil. Aku pikir itu mungkin karena kita berdua terlalu dekat. Tapi lama kelamaan sampai sekarang, kita berdua tetap akrab. Aku menyadari hal yang berbeda darimu. Kau tumbuh menjadi pria yang gagah dan bertanggungjawab. Menjadi seorang arsitek sukses seperti impianmu dahulu. Sekarang aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Aku tahu sekarang kau sangat sibuk untuk bekerja tapi kau selalu saja menyempatkan waktu untuk menemuiku dan menemaniku.

“Hei Meysha, bagaimana dengan kuliahmu?” tanya seorang pria padaku.

“Ah? Baik. Aku sangat senang dengan fakultasku sekarang dan jurusan yang aku ambil ini.” jawabku ringan dengan penuh senyuman mengembang.

“Wah, baguslah kalau kau begitu menyukai jurusan yang kau ambil ini. Memangnya kau ingin menjadi apa?” tanya Kak Mirzam padaku. Ya. Aku selalu memanggilnya dengan sebutan “kakak”.

“Aku ingin menjadi seorang pelukis yang terkenal, Kak. Tapi aku benar-benar harus banyak berlatih untuk bisa menjadi pelukis.”

“Itu bagus! Pertahankan semangatmu.”

“Lalu kakak sendiri bagaimana? Pekerjaan kakak lancar?”

Kak Mirzam tersenyum lebar.

“Wah, ada apa ini? Aku belum pernah melihat kakak tersenyum lebar seperti itu.”

“Hmm, kau tak tau apa yang aku alami hari ini sih?” ucapnya seraya mengacak-acak rambutku, “Aku bertemu dengan klien yang sangat cantik.”

“Apa?!”

“Iya. Wanita muda itu sangat cantik. Aku pikir dia sudah menikah karena memesan desain rumah padaku. Ternyata tidak. Dia seorang designer busana yang sukses. Padahal aku lihat dia masih muda, tapi sudah bisa sesukses ini.”

“Oh?” hanya itu yang bisa aku katakan. Aku tak mungkin mengatakan apapun. Aku berharap Kak Mirzam memang hanya sekedar mengagumi wanita itu karena kesuksesannya. Tidak lebih dari itu.

“Besok kita akan bertemu lagi tentunya. Hmm, senyumnya sangat manis. Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Apa?! Jatuh cinta??? Kak Mirzam jatuh cinta pada wanita muda itu? Sungguh sangat sulit dipercaya. Rasanya aku ingin menutup rapat-rapat telinga ini agar tidak mendengar kenyataan bahwa seorang pria yang aku cintai telah mencintai orang lain. Hati ini sakit sekali mendengarnya.

“Mey, kenapa kau diam? Kau mendukung kakak kan?”

“Hah?! Mendukung apa?”

“Mendukungku untuk mendekatinya.”

“Memangnya siapa nama wanita itu kak?” tanyaku ingin tahu. Tapi sebenarnya aku benar-benar tak ingin tahu siapa dia. Aku hanya ingin terlihat peduli pada Kak Mirzam tentang wanita itu. Aku tak mungkin bersikap acuh tak acuh padanya.

“Uhm,,, namanya Dinia Almira. Kau pasti tahu wanita itu. Iya kan?”

“Yah. Aku tahu wanita itu, Kak.”

“Dinia benar-benar cantik dan manis, kan?”

Aku mengernyitkan alis. Tuhan, apakah Kak Mirzam benar-benar mencintainya? Padahal baru pertama kali bertemu, kenapa Kak Mirzam sampai seperti ini? “Memangnya aku tidak cantik dan manis?” tanyaku spontan. Hei, girl! Apa yang sudah kau ucapkan tadi?

“Apa?!” Kak Mirzam terdiam sejenak kemudian tersenyum lebar, “Kau pasti bercanda! Kau tetaplah malaikat kecilku yang cantik. Dan akan selalu seperti itu.” ucapnya seraya mencubit kedua pipiku.

Ah, kenapa seperti ini? Kenapa kau menganggapku seperti anak kecil. Kenapa kau tidak mau melihatku sebagai seorang wanita? Wanita yang menyukaimu. Aku tak ingin menjadi adikmu. Aku ingin menjadi kekasihmu.

“Hei, kenapa kau diam saja? Apa aku salah mengucapkan sesuatu?” tanyanya khawatir seraya menurunkan kedua tangannya dari pipiku.

“Apa?! Tidak ada. Aku hanya sedikit lelah saja, Kak.”

“Baiklah, kalau begitu. Lebih baik aku pulang sekarang dan kau juga harus istirahat. Besok kau juga harus kuliah, kan?”

“I,iya.”

“Ya sudah kalau begitu. Aku pulang dulu. Dagh!” pamitnya seraya mengacak-acak rambutku.

Dagh, my boy! Hmpfh,,, aku menghela napas panjang.

Aku sangat ingin kau tahu bagaimana perasaanku padamu.

Dinia benar-benar cantik dan manis, kan? Kurasa ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Huh!! Kenapa ucapan Kak Mirzam selalu saja terngiang di telingaku. Ingin sekali aku marah. Tapi aku takut Kak Mirzam menjadi jauh dariku. Aku takut itu.

Setelah usai kuliah aku bergegas keluar untuk mencari taksi. Aku ingin menemui Kak Mirzam di kantornya. Ketika aku sedang menunggu taksi, seseorang menghampiriku.

“Mey, sedang apa kau disini?” tanya Bisma.

“Sedang menunggu taksi tentunya.” Jawabku singkat.

“Apa kau sedang terburu-buru?”

“Ah, tidak juga.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Apa?!”

“Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Mey! Ada waktu?”

Aku melihat jam tanganku. Mungkin saat ini Kak Mirzam masih sedikit sibuk.

“Aku mohon. Hanya sebentar saja kok!”

“Baiklah!”

Aku dan Bisma berjalan menuju taman di dekat sini. Aku segera duduk di bangku yang berada di tengah-tengah taman dan Bisma pun mengikutiku.

“Lalu apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku membuka pembicaraan.

Bisma terdiam sejenak. “Sebenarnya hari ini aku mencarimu. Uhm,,,,” Bisma merogoh sesuatu dalam tasnya, “Ini untukmu!”

Bisma memberiku seikat mawar merah. Awalnya aku sempat ragu-ragu untuk mengambil bunga itu.

“Terimalah ini, Mey! Ku mohon.”

Aku pun menerima bunga itu darinya.

“Sebenarnya sudah lama aku memperhatikanmu. Aku tahu meskipun kau belum terlalu mengenalku, tapi aku sudah lama menyukaimu. Maukah kau menjadi pacarku, Mey?”

“Apa?!” ucapku kaget. Aku tak menyangka Bisma akan mengutarakan perasaanya seperti ini. Memang aku belum terlalu mengenal Bisma. Aku hanya tahu, ia Bisma. Itu saja yang aku tahu.

“Ah, maafkan aku, Mey. Jika ini terlalu tiba-tiba bagimu.”

“Ya. Ini memang benar-benar mengejutkanku.”

“Aku ingin kau memikirkan hal ini. Aku berharap kau mau menerimaku. Seiring berjalannya waktu, aku yakin kita akan saling mengenal lebih dalam. Terima kasih kau mendengarkanku. Aku duluan, Mey!” pamit Bisma padaku kemudian dia meninggalkanku yang masih terdiam dan bingung akan hal ini.

Apa maksudnya ini? Bisma menginginkan aku menjadi pacarnya? Sedangkan aku, aku hanya mempunyai perasaan pada Kak Mirzam. Apa lebih baik aku meminta saran padanya? Ya, mungkin Kak Mirzam bisa membantuku.

***

Akhirnya aku pun tiba di kantornya Kak Mirzam. Ruang kerja Kak Mirzam berada di lantai tiga. Saat aku ingin kesana, aku banyak bertemu dengan teman-teman kerja Kak Mirzam.

“Sore, Meysha! Ingin bertemu dengan kakakmu, ya?” tanya salah satu teman kerja Kak Mirzam.

“Iya. Kak Mirzam ada di ruang kerjanya, kan?” tanyaku padanya.

“Iya. Dia ada di atas. Tapi sepertinya masih ada klien-nya.”

“Baiklah. Terima kasih. Aku tidak akan mengganggunya.”

Saat aku ingin masuk ke ruang kerja Kak Mirzam, terdengar suara canda tawa di dalam. Bukankah Kak Mirzam sedang bersama klien-nya? Tapi kenapa mereka terdengar sangat akrab sekali? Ah, mungkin ini memang cara kerja Kak Mirzam agar ia bisa lebih mendalami pekerjaanya.

Aku memutuskan untuk menunggunya di luar ruangannya. Ada beberapa majalah di bawah meja. Aku mengambilnya untuk membacanya. Saat aku mulai membalik-balik halaman per halaman, terdengar suara pintu terbuka. Aku pun cepat-cepat menutup majalah itu dan berdiri seraya bersiap-siap ingin menyapa Kak Mirzam. Tapi yang kulihat, Kak Mirzam sedang sedikit bercanda ria dengan seorang wanita muda. Dinia Almira?? Tak kusangka, ia memang benar-benar cantik. Aku memang tahu Dinia Almira, tapi hanya sebatas dalam majalah saja.

Sepertinya Kak Mirzam menyadari kehadiranku disana, kemudian dia menyapaku dan aku pun mendekati mereka berdua.

“Meysha, ada apa kau datang kemari?” tanya Kak Mirzam padaku.

“Aku, kebetulan sedang berada di sekitar sini. Jadi aku memutuskan untuk sekedar mengunjungi kakak.” Jawabku lirih.

“O iya Bu Dinia, kenalkan ini Meysha Adrika, malaikat kecilku.”

Malaikat kecil?? Kak Mirzam membicarakan hal itu dengan Dinia?

“Oh? Jadi ini malaikat kecil Pak Mirzam itu? Dinia Almira!” ucapnya seraya mengulurkan tangan.

“Ah? Meysha. Cukup panggil Meysha saja.” ujarku seraya menyambut uluran tangannya.

“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas kerjasama-nya Pak Mirzam. Saya duluan!” pamitnya padaku dan Kak Mirzam.

Perhatian Kak Mirzam sekarang tertuju padaku. “Ada perlu apa sampai mencariku kemari?” tanyanya membuka pembicaraan seraya duduk di sofa ruang kerjanya.

Aku pun mengikuti Kak Mirzam duduk disampingnya. “Bukannya aku sudah bilang kalau aku hanya kebetulan saja. Jadi aku hanya ingin mengunjungi kakak-ku tercinta saja.”

“Hmm,,, bukankah kita selalu bertemu di rumah? Aku kan selalu menyempatkan waktu sepulang kerja untuk datang ke rumahmu. Lagipula rumah kita berdua kan berhadapan.”

Ketika aku ingin membuka mulutku untuk membicarakan Bisma, tiba-tiba aku mengurungkan niat itu.

“Kau tahu, Mey? Dinia benar-benar membuatku jatuh cinta. Dan sepertinya aku mempunyai kesempatan untuk mendekatinya. Besok malam aku akan berkencan dengan Dinia.”

“Apa?! Berkencan??” tanyaku kaget. Mana mungkin aku tidak kaget. Seorang pria yang aku cintai besok malam akan berkencan dengan wanita lain bukan denganku.

“Ya. Bukankah ini kemajuan yang pesat?”

Aku tetap terdiam, termenung.

“Mey? Meysha? Kau tidak apa-apa?”

“Ah? Tidak. Aku tidak apa-apa, Kak.”

“Benarkah? Apa kau sakit?” tanya Kak Mirzam seraya memegang dahiku.

“Aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lelah saja dan lapar.” jawabku seraya menurunkan tangan Kak Mirzam dari dahiku.

“Hmm, kau belum makan??” tanya Kak Mirzam seraya mengangkat alis, “Lebih baik kita makan dahulu di luar sebelum kita pulang.”

***

Keesokan harinya, saat di kampus aku sudah benar-benar memutuskan untuk menerima permintaan Bisma. Aku tak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau salah. Tapi aku hanya ingin ada seseorang yang mau menemaniku. Mungkin dengan aku berpacaran dengan Bisma, Kak Mirzam akan cemburu padaku.

“Mey, kau yakin sudah memutuskannya?” tanya Bisma meyakinkanku.

“Ya. Apa kau keberatan dengan keputusanku ini?”

“Ah, tentu saja tidak. Aku sangat senang mendengar keputusanmu. Terima kasih, Mey!” ucapnya kemudian memelukku.

“Hei! Lepaskan aku!” pintaku seraya berusaha melepaskan pelukan Bisma.

“Ah! Maaf!” Bisma melepaskan pelukannya, “Aku hanya terlalu bahagia saja mendengarnya.”

Aku hanya tersenyum kecil. Maafkan aku, Bisma! Mungkin aku terlalu egois karena memanfaatkanmu hanya untuk membuat Kak Mirzam cemburu. Maafkan aku!

“Mey, aku ingin mengajakmu pergi nanti malam. Yah, mungkin sebagai kencan pertama kita! Kau mau?”

Nanti malam? Yah, lebih baik aku menerima tawaran ini daripada aku diam di rumah saja. Kak Mirzam nanti malam juga tidak akan pergi menemuiku. “Baiklah!”

“Terima kasih. Aku jemput kau nanti malam jam tujuh.”

“Ya!” aku melihat jam tanganku, menunjukkan jam sembilan lebih. Lima belas menit lagi aku harus masuk ke kelas. “Baiklah kalau begitu aku tunggu nanti malam jam tujuh. Aku harus masuk dulu.” pamitku pada Bisma yang masih duduk di taman.

***

Jam tujuh kurang sepuluh menit. Sepuluh menit lagi Bisma akan menjemputku dan aku sudah rapi tentunya. Aku menunggunya di ruang tamu sambil membaca majalah yang ada di bawah meja. Tiba-tiba terdengar suara mobil di depan rumahku. Aku meletakkan majalah kemudian keluar untuk melihat mobil siapa itu. Kak Mirzam. Aku melihatnya sudah rapi dengan kemeja berwarna biru gelap.

“Kak Mirzam? Bukankah kakak ada janji?” tanyaku lirih.

“Memang. Aku hanya ingin bertemu sebentar dengan adikku tercinta. Bagaimana? Apakah aku sudah terlihat rapi dan keren?”

“Apa?!” Tak usah seperti itu pun bagiku kau sudah terlihat keren. “Ah, ya!”

“Hmm, baiklah!” Kak Mirzam memperhatikanku dari bawah sampai ke atas lagi, “Wah, kau juga terlihat sangat cantik! Apakah kau akan pergi?”

“Ya. Ada janji dengan seorang teman dekat.”

“Teman dekat?? Aku belum mendengar tentang teman dekat darimu? Hmm, kau sudah punya pacar???” tanya Kak Mirzam sambil mengangkat alis.

“Mungkin bisa dibilang seperti itu.”

“Wah, sebaiknya aku berangkat sekarang. Aku tidak ingin membuat Dinia menunggu.” ucapnya sambil melihat jam tangan. “Aku berangkat dulu, cantik! Dagh!” pamitnya padaku seraya mencium keningku.

Tak lama berselang setelah Kak Mirzam berangkat, sebuah mobil berwarna biru berhenti di depan rumahku. Siapa lagi ini? Dan kenapa Bisma belum datang juga? Padahal sudah jam tujuh lebih.

Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil, laki-laki itu mempunyai tubuh yang tegap, mempunyai hidung yang mancung dan rambut yang tertata agak berantakan layaknya anak muda. Bisma.

“Maaf, aku terlambat Mey! Ada sesuatu hal yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.”

“Tidak apa-apa! Lagipula kau belum terlambat cukup parah.”

“Hahaha… Baiklah, ayo kita berangkat!” ajak Bisma seraya mengulurkan tangannya di depanku. Aku menerima uluran tangannya dan ia menggenggam tanganku.

***

Bisma membawaku pergi ke sebuah restoran yang mewah dan ia memilih tempat di taman. Taman yang sangat indah. Aku melihat berkeliling dan menemukan satu hal yang sebenarnya tidak ingin aku lihat malam ini. Kak Mirzam dan Dinia Almira.

“Bisma, lebih baik kita pindah tempat saja.” ajakku sambil menarik tangannya tapi Bisma tak bergerak sama sekali. Ia tak mau mengikutiku.

“Kenapa? Apa tempat ini tidak bagus untukmu?”

“Apa?! Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja aku ingin mencari suasana baru.”

“Tapi…”

Saat aku ingin membawa Bisma pergi dari restoran itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku. Suara itu begitu kukenal. Bagaimana tidak? Itu adalah suara orang yang aku cintai.

“Meysha! Kebetulan sekali kita bertemu disini!” sapa Kak Mirzam.

“Ah? Kak Mirzam? Ternyata kakak ada disini ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Ya. Ayo, bergabung denganku dan Dinia. Mungkin ini akan menyenangkan jika kita bersama. Akan terlihat lebih ramai.” Kak Mirzam kemudian mengalihkan pandangannya pada Bisma, “Ini??”

“Ah, perkenalkan Bisma!” ucap Bisma sambil mengulurkan tangannya.

“Mirzam.” balas Kak Mirzam seraya menjabat tangan Bisma, “Kau teman dekat malaikat kecilku ini ya?”

“Maaf, malaikat kecil??”

“Ah, ceritanya panjang sekali. Yang terpenting jangan sampai kau mengecewakan adik tercintaku itu!” kata Kak Mirzam sambil menempuk pundak Bisma.”

“Tentu saja!”

“Kak Mirzam!” ucapku keras, setengah berteriak.

“Sudahlah. Ayo, bergabung denganku!” ajak Kak Mirzam.

***

Sampai di rumah, Kak Mirzam sempat menemuiku. Yah, ia menceritakan bagaimana hubungannya dengan Dinia Almira tentunya. Sebenarnya aku sangat tidak ingin mendengarnya, tapi apa boleh buat aku tak ingin membuat keceriaan di wajah Kak Mirzam hilang.

“Sebelum kami berdua pergi ke restoran itu, aku sempat bertemu denga kedua orangtuanya. Kurasa mereka menyukaiku. Dan aku berpikir mungkin aku akan lebih serius dengannya.”

“Apa?! Maksud Kak Mirzam?” tanyaku ragu.

“Ya. Kau tahu lah. Mungkin ia adalah sosok ideal untuk seorang istri.”

“Apa?! Istri??” Aku benar-benar kaget mendengar ucapan Kak Mirzam. Aku tahu Kak Mirzam mungkin sudah cukup dewasa dan sudah pantas untuk menikah. Tapi kenapa harus dengan Dinia Almira? Kenapa bukan denganku? Aku tahu mungkin aku masih terlihat seperti anak kecil di matamu tapi aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu, Kak.

“Mey? Meysha? Kau masih memperhatikanku, kan?”

“Ah? Maafkan aku, Kak! Mungkin aku sedang kurang enak badan.”

“Uhm. Lebih baik kau istirahat. Aku pulang dulu ya!” pamit Kak Mirzam.

***

Selama tiga hari aku tak masuk kuliah. Aku benar-benar tidak enak badan. Badanku demam. Kak Mirzam belum menjengukku. Mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya atau sibuk dengan Dinia Almira. Entahlah. Hanya Bisma yang keluar masuk ke rumahku. Seperti hari ini, ia juga datang untuk menjengukku.

“Hai, Mey! Ini untukmu!” sapa Bisma sambil memberikan seikat bunga padaku kemudian duduk disampingku.

“Terima kasih!”

“Bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Lebih baik dari kemarin. Kau tidak bosan ya menemuiku terus?”

“Apa?! Kau bercanda ya? Mana mungkin aku bosan. Kau adalah pacarku, Mey! Aku menyukaimu.”

“Yah, aku tahu. Aku hanya bercanda. Tentu saja.”

Ketika aku sedang asyik mengobrol dengan Bisma tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Mobil berwarna hitam. Kak Mirzam.

“Meysha! Kau sakit?” tanya Kak Mirzam padaku dan langsung memelukku.

“Tidak. Aku sudah tidak apa-apa, Kak. Jangan khawatir!” jawabku kemudian melepaskan pelukan Kak Mirzam.

“Bagaimana aku tidak khawatir? Aku tahu kau sudah tiga hari tidak masuk kuliah karena sakit. Maafkan aku. Selama tiga hari ini aku tidak menemuimu karena aku mendapatkan tugas di luar kota.” jelas Kak Mirzam.

“Aku tahu kakak pasti sedang sibuk. Jadi kakak tidak perlu meminta maaf padaku.”

“Ah, maaf! Aku ada disini sekarang!” potong Bisma.

Kak Mirzam menoleh pada Bisma yang duduk disampingku. “Ah, maafkan aku! Aku hanya terlalu khawatir…”

“Sehingga tidak melihatku disini?” potong Bisma lagi.

“Ah, iya! Maafkan, aku!”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Wajar kalau kau khawatir dengan malaikat kecilmu.”

Ketika Kak Mirzam ingin membalas ucapan Bisma, tiba-tiba terdengar ponsel Kak Mirzam berbunyi. Kak Mirzam menjauhiku dan Bisma untuk mengangkat telepon.

“Kenapa kau selalu menyebutku malaikat kecil di depan Kak Mirzam?” tanyaku pada Bisma dengan mengernyitkan alis.

“Apa?! Bukankah kau memang malaikat kecilnya?” ucap Bisma berbalik bertanya padaku.

“Memang. Tapi…”

“Apakah kosakata itu hanya untuk kau dan Mirzam?”

“Apa?!” Tentu saja aku kaget mendengar pertanyaan Bisma itu, “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja tidak. Kak Mirzam adalah seseorang yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri. Tidak lebih dari itu.”

“Uhm, baiklah! Aku percaya pada jawabanmu.”

“Apa maksudmu? Kau tidak percaya padaku?”

“Ah, tidak! Bukan seperti itu, Mey! Hanya saja aku melihat kalian terlalu… yah,dekat.”

“Kau tidak setuju dengan kedekatanku dan Kak Mirzam?”

“Ah, tidak! Aku tidak berhak untuk melarangmu berteman atau dekat dengan siapapun. Hanya saja aku ini kan…”

“Pacarku??” potongku.

“Ya. Kau tahu itu, Mey!”

“Kau memang pacarku tetapi kau tidak berhak untuk melarangku seperti ini.” ucapku dengan nada agak tinggi.

Ketika Bisma ingin membuka mulut untuk menanggapi ucapanku, tiba-tiba ia memutuskan untuk diam saat Kak Mirzam kembali bergabung dengan kami berdua.

“Mey, aku pulang dulu! Kau harus banyak istirahat. Ingat jaga kesehatanmu!” pamit Kak Mirzam seraya membelai rambutku, “Aku duluan!” ucapnya sambil menoleh pada Bisma.

Aku hanya mengangguk.

***

Sebulan berlalu tanpa Kak Mirzam disampingku. Kini memang Kak Mirzam sangat jarang menemuiku. Ya, karena pekerjaanya yang sangat sibuk. Ia kebanjiran proyek. Sekarang ia juga mulai makin sibuk dengan Dinia Almira. Dan yang sangat menyakitkan hatiku, tepat dua minggu yang lalu ia menemuiku. Sesungguhnya jika tahu apa yang akan ia katakan padaku, aku bersumpah aku tidak ingin menemuinya.

“Ada apa, Kak? Jarang sekali kakak menjemputku ke kampus dan mengajakku pergi.” tanyaku padanya.

“Aku ingin mengajakmu membeli sesuatu yang begitu berarti bagiku. Sudah lama aku menginginkan barang ini. Hanya saja, aku tak tahu harus memilih yang mana.” jawabnya senang.

“Memangnya barang apa yang kakak inginkan?”

“Hmm… Nanti kau juga akan tahu.”

“Kak Mirzam?” aku masih terheran-heran. Sebenarnya barang apa yang begitu diinginkan Kak Mirzam.

Mobil hitam Kak Mirzam berhenti di sebuah toko yang besar. Shine Jewelry. Sebuah toko perhiasan.

“Ini?”

“Ya. Ayo, turun!”

Aku mengikuti Kak Mirzam yang memasuki toko. Kemudian berdiri bersandar pada sebuah kotak kaca yang berisi perhiasan-perhiasan.

“Nah, sekarang kau bisa membantuku?” tanya Kak Mirzam padaku.

“Apa? Maksud kakak?”

Kak Mirzam menghela napas pendek. “Membantuku untuk memilih cincin, sayang!”

“Cincin??” ucapku tersentak kaget.

Kak Mirzam tersenyum kecil. “Ya. Kau tahu kan bagaimana hubunganku dan Dinia sekarang ini? Aku ingin melamarnya.”

Ucapan Kak Mirzam benar-benar membuatku kaget. Bagaimana tidak? Seharusnya bukan ini yang aku lakukan? Aku tidak ingin memilihkan cincin untuk Dinia. Aku tidak ingin! Seharusnya Kak Mirzam membeli cincin untukku bukan untuk Dinia. Bukan ini yang aku inginkan! Bukan! “Wah, Dinia pasti akan sangat senang mendengarnya.” ucapku ikut bahagia meski pun aku harus membohongi hatiku.

 

Aku menunggu Bisma di taman dekat kampus. Aku tak tahu kenapa aku belum bisa membalas perasaannya padaku. Mungkin karena aku terlalu mencintai Kak Mirzam.

“Maafkan aku. Aku terlambat! Kau sudah menunggu lama?” tanya Bisma kemudian duduk di sampingku.

“Tidak. Baru lima menit aku duduk disini.            “

“Uhm, bagaimana dengan kuliahmu? Apakah kau masih ada kelas setelah ini?”

“Tidak. Kuliahku hari ini sudah selesai. Lalu apa yang ingin kau bicarakan padaku?”

“Wah, kau tidak ingin kita bicara hal biasa terlebih dahulu?”

“Aku sedang kurang enak badan hari ini.”

Bisma menghela napas panjang. “Baiklah!” Dia terdiam sejenak, “Sebenarnya ada apa denganmu? Sejak pertama kali kita berpacaran aku merasa kau berbeda. Kau seakan tidak peduli padaku. Kau.. apakah kau benar-benar yakin dengan keputusanmu untuk menerimaku saat itu?”

“Apa?! Kau bercanda! Tentu saja aku yakin dengan keputusanku saat itu. Bukankah kita sudah menjalaninya?”

“Tidak. Bukan seperti ini yang aku mau. Memang kita berdua menjalani hubungan ini tapi aku merasa kau tidak benar-benar ingin menjalaninya…”

Aku terdiam mendengar ucapan Bisma. Aku rasa memang Bisma akan tahu dengan perbuatanku ini.

“…Dan setelah selama ini aku perhatikan benar-benar mungkin kau  mempunyai perasaan terhadap orang lain. Kau mencintai Mirzam, bukan?”

“Apa?!” aku tersentak mendengar pertanyaanya. Bisma tahu apa yang aku sembunyikan selama ini. “Pertanyaan bodoh apa itu? Tidak, aku serius dengan keputusanku dan aku… aku mempunyai perasaan yang sama terhadapmu.”

Bisma menghela napas pendek. “Meysha, kau tidak perlu berbohong padaku. Aku tahu kau mencintai Mirzam. Aku bisa melihatnya.”

Aku terdiam. Aku tertangkap berbohong pada Bisma. “Maafkan aku! Maafkan aku karena telah menerimamu hanya untuk membuat Kak Mirzam cemburu padaku. Dan ternyata Kak Mirzam pun juga tidak cemburu. Sekali lagi maafkan aku! Aku tahu kau marah padaku. Dan kau pun juga berhak untuk memarahiku bahkan atau mungkin membenciku.”

“Marah??” Bisma tersenyum kecil, “Jujur aku pun kecewa dan sedih mendengar ini semua. Tapi aku tidak akan memarahimu atau membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci orang yang aku cintai?”

“Bisma?”

“Aku tahu aku tidak akan bisa memaksamu untuk menerimaku dan mencintaiku. Tapi aku yakin jika kita memang jodoh suatu saat kau pasti akan mencintaiku. Aku yakin itu. Jadi mulai sekarang aku tidak akan mengganggumu lagi…”

“Kau akan menjauhiku??” tanyaku agak takut.

“Tidak. Tenang saja aku bukan tipe laki-laki yang menjauhi seorang wanita yang menolaknya. Aku rasa… lebih baik.. kita berteman saja. Itu mungkin akan sedikit melegakanmu dan meringankan bebanmu.”

Aku tak menyangka Bisma bisa berpikir sedewasa ini. Dibalik sikapnya yang kekanak-kanakan ternyata di dalamnya terdapat jiwa yang bijaksana. “Terima kasih, Bisma!”

Bisma tersenyum lebar. “Baiklah, sekarang kau tidak usah sungkan untuk menceritakan laki-laki idamanmu itu. Hmmm… Mirzam!”

Aku mulai menceritakan semua tentang Kak Mirzam padanya. Awalnya aku ragu akan menceritakan hal ini padanya. Tapi kurasa Bisma memang orang yang baik dan bijaksana. Laki-laki yang dapat dipercaya.

“Lalu kapan kau akan menyatakan perasaanmu padanya?” tanya Bisma tenang.

“Tidak akan!”

“Lho?? Kenapa?? Bukankah Mirzam perlu tahu bagaimana perasaanmu padanya?”

“Kak Mirzam tidak perlu tahu. Karena semua itu pun juga percuma. Dua minggu lagi dia akan menikah dengan Dinia Almira.”

“Apa?! Menikah???” ucapnya kaget, “Maafkan aku, Mey! Aku tidak tahu kalau…”

“Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Kau sudah terlalu baik padaku, Bisma. Aku yakin suatu saat nanti akan ada wanita yang jauh lebih baik daripada aku yang akan menjadi pasanganmu.”

“Mey, boleh aku memberimu saran?”

Aku hanya mengangguk.

“Sebaiknya kau ungkapkan saja perasaanmu pada Mirzam. Tidak peduli dengan hasilnya yang terpenting dia sudah mengetahui bagaimana perasaanmu terhadap Mirzam.”

“Tapi… Dia akan menikah. Kau tahu?? Aku tidak ingin merusak kebahagiaan mereka berdua. Maaf aku tidak bisa menerima saranmu.”

Bisma hanya menghela napas pendek.

***

“Kau yakin ingin datang ke pernikahan Mirzam?” tanya Bisma meyakinkanku.

“Ya. Apa kau tidak melihat aku sudah rapi seperti ini?” tanyaku berbalik pada Bisma.

“Baiklah! Aku tidak akan melarangmu. Tapi kau yakin kau akan baik-baik saja?”

“Sudahlah. Kau tak perlu mengkhawatirkanku berlebihan seperti itu. Aku akan baik-baik saja.”

Bisma menghela napas pendek. “Baiklah! Ayo, kita berangkat!” ajak Bisma seraya menggenggam tanganku.

“Bisma!”

“Ya?” Bisma memandangku dalam.

“Terima kasih kau mau menemaniku datang ke pernikahan Kak Mirzam.”

“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan hal yang seharusnya kulakukan. Aku akan berusaha selalu ada untuk menemanimu.”

Bisma? Maafkan aku karena sampai sekarang aku belum bisa membalas perasaanmu. Kau laki-laki yang baik dan harus untuk wanita yang baik.

***

Gedung itu sudah tertata rapi dan indah. Banyak bunga terpasang di sana-sini. Di pintu masuk pun aku dan Bisma sudah disambut dengan foto prewedding Kak Mirzam dan Dinia. Banyak sekali foto yang dipamerkan disana. Sejenak aku terhenti di depan foto-foto mereka. Aku berpikir seharusnya bukan Dinia yang berada di foto ini tetapi aku. Aku yang seharusnya mengalami malam indah indah ini. Bukan Dinia Almira.

“Mey, kau baik-baik saja?” tanya Bisma sambil memegang tanganku.

“Ya. Aku tidak apa-apa.” Aku melihat beberapa tamu berjalan mendekati pengantin dan memberi selamat kepada mereka berdua, “Bisma, ayo kita memberi selamat kepada pengantin itu!”

“Apa?! Kau yakin? Tanganku panas. Dan aku tahu kau sedang demam saat ini. Lebih baik kita berdua pulang.”

“Tidak. Aku tidak ingin pulang sekarang. Aku ingin menemui mereka berdua.”

“Tapi…”

“Bisma, tolong! Aku hanya ingin menemui mereka dan memberi selamat. Apakah permintaanku ini terlalu berat?”

“Meysha!” Bisma terdiam sejenak, “Tidak. Tapi kau sedang demam sekarang. Aku takut kau akan semakin parah.”

“Aku mohon!” ucapku lirih dan akhirnya Bisma pun mengalah. Ia mengantarku untuk menemui Kak Mirzam dan Dinia Almira.

“Meysha! Kau datang?” tanya Kak Mirzam agak kaget melihat kedatanganku dan Bisma.

“Tentu saja. Bagaimana mungkin di pernikahan kakakku aku tidak datang? Aku pasti datang. Selamat ya Kak! Kakak pasti bahagia sekali, kan? Aku juga akan bahagia melihat kakak bahagia.” Aku memeluk Kak Mirzam, “Aku mencintai kakak.” ucapku lirih dan kemudian aku merasakan tubuku melemas. Mataku juga tidak kuat untuk tetap terbuka. Yang aku dengar hanya suara Kak Mirzam yang memanggil-manggil namaku.

***

“Meysha! Bangunlah.” terdengar suara Kak Mirzam.

Perlahan mataku mulai terbuka. Aku melihat sekeliling. “Kak Mirzam? Dimana aku?”

“Syukurlah, kau sudah sadar. Ini di rumah sakit. Kau pingsan saat menghadiri pernikahanku.”

“Lalu dimana Bisma?”

“Bisma ada di luar. Aku sudah menyuruhnya masuk tetapi dia tidak mau masuk. Dia yang menyuruhku untuk menunggumu disini.”

Bisma? “Sekarang aku sudah sadar. Kak Mirzam tidak perlu menungguku lagi. Aku baik-baik saja. Bukankah sebaiknya Kak Mirzam pulang? Pasti istri kakak sedang menunggu kakak di rumah.”

“Tidak. Aku ingin menunggumu disini. Dinia pasti akan mengerti.” Kak Mirzam membelai rambutku, “Aku sangat khawatir ketika kau jatuh pingsan di pelukanku. Saat itu kau demam tinggi. Seharusnya kau tidak perlu memaksakan diri untuk datang jika kau sedang tidak sehat.”

“Tidak! Aku harus datang, kak. Aku ingin melihat pernikahan kakakku. Aku tidak ingin melewatkannya. Aku ingin melihat kakak tersenyum bahagia dengan wanita pilihan kakak.”

Pintu perlahan terbuka, aku melihat Bisma masuk ke kamar. “Meysha, kau sudah sadar?” tanya Bisma sambil mendekatiku.

“Ya. Aku sudah baik-baik saja.” Jawabku sambil tersnyum kecil kemudian aku memandang Kak Mirzam, “Kak, aku sudah baik-baik saja. Lebih baik kakak pulang. Sudah ada Bisma yang bisa menjagaku, Kak.”

Kak Mirzam menghela napas pendek. “Baiklah! Aku pulang, Mey!” pamit Kak Mirzam kemudian mencium keningku.

Aku hanya mengangguk.

Kak Mirzam menoleh pada Bisma, “Tolong jaga Meysha baik-baik, Bisma!”

“Tentu saja.”

Aku melihat Kak Mirzam mulai keluar dari kamarku, kemudian Bisma duduk di kursi samping ranjangku.

“Kenapa kau menyuruhnya untuk pulang?” tanya Bisma tenang.

“Apa?! Bukankah sudah ada kau yang menemaniku di sini?”

“Bodoh! Aku sengaja menunggu di luar untuk memberi kesempatan kalian berdua berbicara lebih lama.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Bukankah Kak Mirzam juga harus pulang? Dia baru saja menikah. Apakah kau sudah lupa bahwa kita berdua telah menghadiri pernikahan Kak Mirzam?”

“Tentu saja aku tidak lupa. Bahkan masih teringat jelas saat kau jatuh pingsan saat memeluk Mirzam.”

“Sudahlah! Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi.”

 

Beberapa bulan terlah berlalu. Sekarang Kak Mirzam tidak lagi tinggal di depan rumahku. Dia sudah membuat rumah untuk Dinia Almira di Bandung. Tak diragukan lagi aku kesepian. Meskipun aku tak kehilangan seseorang yang menemaniku berbicara di malam hari dan menemaniku melihat bintang di atas atap tapi aku tak menemukan sosok Kak Mirzam di sana. Ya. Laki-laki yang selama ini menemaniku sebagai pengganti Kak Mirzam adalah Bisma.

Hari ini ada sebuah telepon yang membuatku sedikit tersenyum. Kak Mirzam ingin menemuiku. Aku menunggunya di taman kota. Tak berapa lama ada sebuah mobil hitam berhenti di depan ujung jalan taman. Laki-laki yang pernah aku cintai turun dan berjalan ke arahku. Entah bagaimana perasaanku sekarang terhadapnya aku tak tahu.

“Sudah menunggu lama, Mey?” tanya Kak Mirzam kemudian duduk di sampingku.

“Tidak. Ada perlu apa kakak ingin menemuiku?” tanyaku langsung padanya.

Kak Mirzam mengangkat alis. “Apakah aku tidak boleh menemuimu?”

“Apa?!” aku tersentak kaget, “Tentu saja kakak boleh menemuiku.”

Kak Mirzam tersenyum kecil. “Aku rindu dengan malaikat kecilku ini.” Kak Mirzam terdiam sejenak, “Sebenarnya ada sesuatu hal ingin aku bicarakan padamu, Mey.”

Aku menatap Kak Mirzam dalam.

“Sebelumnya aku ingin meminta maaf padamu. Aku tahu apa yang telah kau sembunyikan selama ini dariku.”

Aku memalingkan pandanganku. Aku tak berani memandang Kak Mirzam. “Apa maksud kakak?”

“Sebenarnya aku tahu bagaimana perasaanmu padaku. Aku tahu kau mencintaiku…”

Apa? Kak Mirzam tahu bagaimana perasaanku padanya.

“Maafkan aku karena aku tak bisa membalas perasaanmu. Maafkan aku!”

“Bagaimana kakak tahu perasaanku?” tanyaku lirih.

“Sebenarnya sudah lama aku mengetahuinya. Awalnya aku sempat ragu setelah bertemu dengan Bisma yang menjadi pacarmu saat itu. Tapi satu minggu sebelum pernikahanku aku yakin bahwa kau mencintaiku. Bisma menemuiku dan memberitahuku…”

Bisma? Kenapa kau bertindak hal bodoh seperti itu.

“…Sejak awal aku menyayangimu sebagai adikku. Sangat menyayangimu. Tapi aku tak bisa lebih dari itu. Maafkan aku.”

“Apakah aku bukan tipe wanita yang kau idamkan?”

“Apa?!” Kak Mirzam kaget, “Sadarlah, aku sudah menikah. Tidak, maksudku kau memang wanita yang baik. Tetapi jika aku memang tidak bertemu dengan Dinia, aku memang tidak bisa mencintaimu. Aku sudah berjanji pada diri sendiri dan orang tuamu bahwa aku menjagamu sebagai adikku. Aku tak bisa melanggar janjiku itu. Maafkan aku!”

Aku menghela napas panjang. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tidak boleh menangis di depan Kak Mirzam. Aku harus kuat. Aku… “Tidak perlu meminta maaf, Kak. Aku tidak apa-apa.  Meskipun sedikit terguncang tapi percayalah aku baik-baik saja, Kak. Tenanglah, jangan terlalu mengkhawatirkan aku.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

“Kau tahu, Mey? Bisma laki-laki yang baik.”

“Bisma?”

“Ya, Bisma. Aku melihat ia benar-benar mencintaimu. Saat  kau mempunyai hubungan dengannya aku yakin kau akan baik-baik saja dengannya. Tapi sekarang bagaimana hubunganmu dengannya?”

“Baik. Hanya berteman.”

“Kau tidak mau membuka hatimu untuknya?”

“Aku merasa aku tidak pantas mendapatkan laki-laki baik seperti Bisma, Kak. Bisma berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku.”

Kak Mirzam menghela napas pendek, “Sebenarnya ia masih mengharapkanmu.” Kak Mirzam mengambil sesuatu dari balik kemejanya, “Ini!”

Aku menerima sebuah kalung berbentuk hati. “Apa ini?”

“Untukmu. Bisma memberikannya padaku. Dia menyuruhku untuk memberikannya padamu tetapi aku menolak. Aku pura-pura membuangnya. Hanya ingin melihat bagaimana reaksinya.”

“Lalu bagaimana reaksinya?”

“Kau bercanda? Tentu saja dia marah besar dan memukulku. Tapi tenanglah aku baik-baik saja. Pakailah kalung itu. Aku yakin kau pasti akan bahagia bersama Bisma.”

Aku hanya terdiam.

“Baiklah, aku harus ke kantor sekarang! Kebetulan aku ditugaskan disini dan mungkin kita bisa sering bertemu meskipun hanya satu minggu. Aku pergi dulu, Mey!” pamit Kak Mirzam sambil membelai rambutku.

Aku hanya mengangguk dan melihat ia berjalan menjauhiku menuju mobilnya. Tiba-tiba ponselku berbunyi. “Ya?… Aku berada di taman kota sekarang…. Baiklah! Aku tunggu.”

Tak berapa lama sebuah mobil biru berhenti di ujung jalan taman. Seorang laki-laki yang sebelumnya meneleponku berjalan menghampiriku.

“Sedang apa kau disini, Mey?” tanya Bisma padaku.

“Uhm, baru saja aku bertemu dengan Kak Mirzam.”

“Mirzam? Kau baik-baik saja kan?”

“Kenapa kau selalu bertanya padaku apakah aku baik-baik saja? Aku tidak apa-apa.”

“Yah, maafkan aku! Aku terlalu mengkhawatirkanmu.”

Aku terdiam sejenak. Mungkin memang benar ucapan Kak Mirzam, Bisma memang benar-benar menyayangiku. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”

“Ya? Ada apa?”

“Bagaimana kau menjelaskan padaku tentang ini?” tanyaku pada Bisma seraya menunjukkan kalung itu padanya.

“Bagaimana kau mendapatkan kalung itu? Seharusnya kalung itu sudah hilang.”

“Sudah, jelaskan saja tentang kalung ini!”

Bisma menghela napas pendek. “Hmpfh.. harus mulai dari mana aku menjelaskannya. Aku bingung. Dan mungkin akan butuh waktu lama untuk menjelaskannya.”

“Tenang saja. Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan penjelasanmu.”

Mungkin memang benar aku akan bahagia bersama Bisma. Bersamanya lambat laun aku mungkin akan melupakan perasaanku pada Kak Mirzam dan mencoba untuk membalas perasaanya padaku. Mungkin.

 

Leave a comment